Sains Dalam Sajak
Khrisna Pabichara
Jika pengertian sajak atau puisi adalah karangan terikat
yang mementingkan irama, larik, dan rima, seperti ditasbihkan Jus Badudu dan
Sutan Muhammad Zein (1994) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, maka Atik Bintoro
telah berhasil meracik sajak-sajaknya dalam Rimba Dalam Sains sehingga bisa
dinikmati sebagai buah olah bahasa yang ’lezat’ dan ’nikmat’.
Sejatinya, sajak ditulis untuk dinikmati lewat tarian mata
dan dipahami lewat kajian rasa. Pendapat seperti ini banyak dinyatakan para
sarjana sastra, para kritikus, bahkan para penyair sendiri. Mereka melihat
sajak dari banyak sudut pandang. Mereka dibekali rupa-rupa teori yang mendukung
sudut pandang itu. Sementara, saya tidak termasuk bagian dari golongan itu.
Bagi saya, sajak ditulis untuk dinikmati. Karena itu, saya bersentuhan dengan
sajak sebagai penikmat, bukan selaku penafsir atau pemaham. Begitulah yang coba
saya lakukan dalam menyelami sajak-sajak Atik Bintoro, yang kerap disapa Paman
Atek oleh rekan-rekan milis dan komunitas sastranya.
Paman Atek adalah seorang yang sibuk bergelut dengan desain
roket, misil, dan satelit dalam rutinitas sehari-hari selaku peneliti di LAPAN.
Rumus-rumus kimia dan matematika menjadi sarapan pagi bagi pria kelahiran
Banyuwangi ini. Namun, kesibukan itu tidak berarti mematikan birahi menulisnya.
Setidaknya berdasarkan pengakuan sendiri, dalam sehari Paman Atek selalu
berusaha menulis satu sajak. Paman Atek sudah merasakan nikmatnya menulis
sajak, baik sebagai terapi bagi kejenuhan karena pekerjaan, maupun sebagai
penyalur bakat dan kreativitas seninya.
Menikmati sajak-sajak Paman Atek bisa dengan mata telanjang,
bisa juga dengan mata hati. Ada beberapa puisi yang ditulis lugas dengan bahasa
sederhana, bahasa percakapan sehari-hari yang tidak perlu memaksa kita
membuka-buka kamus dan mencari arti suatu kata. Namun, ada juga beberapa sajak
yang memaksa saya mencari makna katanya dalam kamus karena saya tidak akrab
dengan bahasa-bahasa kimia, fisika, dan matematika yang dipindahkan dengan cara
’indah’ dan ’luar biasa’ oleh Paman Atek ke dalam sajak-sajaknya.
Apakah kenyamanan saya dalam menikmati sajak-sajak Paman
Atek terganggu karena penggunaan bahasa ’unik’ itu? Tidak. Saya tetap
menikmatinya, sembari belajar mencari akar kata dan maknanya. Jadi, ketika saya
menikmati sajak-sajak Paman Atek, ada dua buku yang saya pegang. Tangan kiri
memegang kitab sajak Paman Atek yang diterbitkan Massma Sikumbang dan di tangan
kanan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Laksana kata pepatah, sambil menyelam minum
air. Sembari menikmati sajak, ya belajar menelisik makna kata. Asyik, kan?
Seorang penyair, bagi Agus R. Sardjono (2008), menggunakan
bahasa yang ada di masyarakat dan harus merebutnya menjadi bahasa miliknya
pribadi. Oleh karena bahasa masyarakat mendapat isi dan nilai serta maknanya
dari sejarah dan pengalaman berbagai rupa masyarakat bersangkutan, maka isi dan
nilai bahasa seorang penyair juga ditentukan oleh sejarah dan pengalamannya
sebagai pribadi. Bagi Paman Atek, memasukkan kata-kata ilmiah ke dalam
sajak-sajaknya, seperti propelan (bahan bakar roket), poliuretan (jenis bahan
baku propelan), nosel (pengarah semburan hasil pembakaran propelan), atau
kinetik (energi akibat gerakan suatu benda), adalah hal yang biasa karena
didukung oleh latar belakang sejarah keseharian sebagai peneliti roket. Akan
berbeda hasilnya, jika saya atau akuntan lain yang menggeluti sajak melakukan
hal yang sama, karena latar belakang pendidikan saya adalah akuntansi, bukan
fisika atau kimia.
Tentu saja, kerja keras Paman Atek menulis sajak-sajak
dengan bahasa yang tidak akrab dalam dunia kangouw persajakan, patut mendapat
acungan jempol. Bukan semata karena unsur irama, larik, dan rima tetap
terpenuhi, melainkan juga karena tidak kehilangan makna. Hal inilah yang
sejatinya wajib dilakukan oleh setiap penyair. Pilihan kata harus tepat, bukan
perca-perca sisa bahan pakaian yang ditata ulang hingga menghasilkan keset,
melainkan potongan kata yang padu dan menyatu (Khrisna Pabichara, 2008).
Sains dalam Sajak
Bagi saya, sajak-sajak Paman Atek sangat mencerahkan.
Mengapa? Karena saya mendapat banyak racikan baru dalam penulisan sajak. Saya
jadi tertantang menulis sajak dengan memasukkan kata-kata lazim di dunia
akuntansi seperti meng-audit rasa, membilang laba-rugi merindu, atau menakar
neraca cinta. Tentu saja, Anda pun bisa melakukan hal sama, selama Anda
berusaha total melakukannya. Karena pada hakikatnya, menurut Cecep Syamsul Hari
(2008), puisi yang mencerahkan lahir karena totalitas yang diberikan penyairnya
kepada puisi yang ditulisnya.
Coba kita nikmati beberapa sajak Paman Atek;
multimeter pengukur arus
multidistan pengukur curam
......
rasa dan makna tiada alat ukurnya
(Sajak Bagaimana Mengukurnya)
siapkan wadah, volume gega
penuh tak pernah luber
(Sajak Terjebak Isi)
menuntun jawab lewat jalan berliku
aljabar, seni hitug menghitung
fisika, bermain dengan fakta
kimia, mengenal larutan dan campuran
biologi, putaran pohon, hewan dan manusia
(Sajak Rimba Dalam Sains)
sains dan fantasi bisa berasal dari mimpi
(Sajak Legenda Yang Nyata)
Sajak-sajak ini memberi kenikmatan baru bagi saya, semoga
juga bagi Anda, karena tidak merasa terjadinya aroma pemaksaan dalam penggunaan
kata-kata ilmiah. Bayangan saya selama ini, sains adalah dunia yang sama sekali
bertolak belakang dengan dunia persajakan. Meski tidak sedikit saintis yang
terjun ke rimba sajak, Taufik Ismail misalnya. Sajak-sajak di atas mengajak
kita berfikir secara obyektif bahwa sains bukanlah sesuatu yang asing, kaku,
dan tidak indah. Sains adalah dunia penuh makna, bukan semata hitung-menghitung
aljabar atau campur-mencampur larutan kimia. Sains adalah dunia yang biasa, sama
seperti dunia lainnya. Ada kecemasan, ketakutan, harapan, bahkan doa, yang
mungkin dan sering terjadi pada dunia lainnya.
Setidaknya, ada harapan besar yang menggumpal di benak Paman
Atek, bagaimana bangsa Indonesia tercinta ini menjadi bangsa yang tidak
tertinggal dalam bidang sains. Hal ini bisa tercapai jika banyak anak bangsa
yang tertarik dan berminat dengan serius untuk menekuni sains. Masalahnya,
betapa banyak anak bangsa yang memandang sains sebagai dunia rumit, dunia
segala rumus yang menjemukan, dunia yang tidak menjanjikan kenyamanan
permainan. Padahal, tentu saja, anggapan itu salah besar.
Paman Atek tetap saja berharap, seperti ditulisnya dalam
Cita-cita Seorang Anak Manusia:
rimba dalam sains
gagal sudah biasa
coba lagi, coba lagi, dan coba lagi
siapa tahu terkabul
siapa tahu ada pendoa
siapa tahu ada yang percaya
Demikian juga dalam Sajak Untuk Anakku:
darah bapakmu mengalir rupanya
menjelajah rimba dalam sains
temukan makna sejati bilangan biner
satu nol, satu nol, satu nol
bilangan biner tak pernah mengenal dua
Lebih nikmat lagi, Paman Atek tidak menafikan metafor dalam
sajak-sajaknya. Meminjam istilah Jamal D. Rahman (2008), dengan metafor itulah
puisi memiliki makna yang sangat kaya, sehingga setiap orang bisa menafsirkan
puisi sesuai dengan pemahaman bahkan keperluannya sendiri. Mari kita simak
puisi Pantai Wisata Uji Coba: meliuk gunung gelap, meluruh ke pantai. Tentu
saja, kita tidak bisa menikmati potongan sajak itu secara leksikal. Meliuk
gunung gelap tidak berarti bahwa gunung-gunung yang dilewati sepanjang
perjalanan menuju pantai wisata, yang sekaligus pantai uji coba peluncuran
roket, di Pamengpeuk. Kalimat itu pastilah mengacu pada makna atau pengertian
lain, semisal jalan-jalan yang melewati gunung-gunung itu berliku-liku,
meliuk-liuk.
Begitupun dalam sajak Amonium Perklorat Samudra Indonesia:
terpendar sinar kristal harapan/ menjaga negeri lewat propelan. Tentu saja
makna yang diharapkan lewat kalimat itu bukanlah sinar kristal yang berpendar berkilau
di mata, melainkan harapan yang bersinar seperti kristal. Dan menjaga negeri
tidak selayaknya TNI dan kewajiban bela negara seperti yang sering kita
dapatkan dalam pelajaran PMP atau PPKn, melainkan menaikkan martabat bangsa
lewat penemuan propelan sebagai hasil karya anak bangsa yang sangat
membanggakan.
Pada Akhirnya
Paman Atek telah berhasil mewujudkan impinya: menghadirkan
yang belum hadir, sebagaimana dituliskan pada sajak Kenapa Harus Puisi. Ya,
Paman Atek berhasil menghadirkan sesuatu yang belum hadir, mengadakan sesuatu
yang belum ada. Artinya, Paman Atek sukses menjadi pencipta.
Saya, juga Anda, bisa belajar banyak dari sajak-sajak Paman
Atek. Dalam banyak hal, Indonesia membuat kita miris, seperti tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan, juga budaya korupsi. Namun ada sisi lain yang
patut menjadi kebanggaan, yakni prestasi anak bangsa di dunia saintis. Kita
adalah bangsa yang semakin maju di bidang teknologi, terbukti dengan
keberhasilan saintis kita menemukan propelan, bahan bakar roket, dari garam.
Jadi, mari bangga sebagai anak bangsa. Dan, kebanggaan itu
hendaknya bukan sesuatu yang melenakan, melainkan kejutan indah yang
membangunkan kita untuk lebih maju lagi.
Bravo Paman Atek! Bravo saintis Indonesia!
0 komentar:
Posting Komentar