Jumat, 11 Mei 2012

Sains dalam Sajak


Sains Dalam Sajak

Khrisna Pabichara

Jika pengertian sajak atau puisi adalah karangan terikat yang mementingkan irama, larik, dan rima, seperti ditasbihkan Jus Badudu dan Sutan Muhammad Zein (1994) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, maka Atik Bintoro telah berhasil meracik sajak-sajaknya dalam Rimba Dalam Sains sehingga bisa dinikmati sebagai buah olah bahasa yang ’lezat’ dan ’nikmat’.

Sejatinya, sajak ditulis untuk dinikmati lewat tarian mata dan dipahami lewat kajian rasa. Pendapat seperti ini banyak dinyatakan para sarjana sastra, para kritikus, bahkan para penyair sendiri. Mereka melihat sajak dari banyak sudut pandang. Mereka dibekali rupa-rupa teori yang mendukung sudut pandang itu. Sementara, saya tidak termasuk bagian dari golongan itu. Bagi saya, sajak ditulis untuk dinikmati. Karena itu, saya bersentuhan dengan sajak sebagai penikmat, bukan selaku penafsir atau pemaham. Begitulah yang coba saya lakukan dalam menyelami sajak-sajak Atik Bintoro, yang kerap disapa Paman Atek oleh rekan-rekan milis dan komunitas sastranya.

Paman Atek adalah seorang yang sibuk bergelut dengan desain roket, misil, dan satelit dalam rutinitas sehari-hari selaku peneliti di LAPAN. Rumus-rumus kimia dan matematika menjadi sarapan pagi bagi pria kelahiran Banyuwangi ini. Namun, kesibukan itu tidak berarti mematikan birahi menulisnya. Setidaknya berdasarkan pengakuan sendiri, dalam sehari Paman Atek selalu berusaha menulis satu sajak. Paman Atek sudah merasakan nikmatnya menulis sajak, baik sebagai terapi bagi kejenuhan karena pekerjaan, maupun sebagai penyalur bakat dan kreativitas seninya.

Menikmati sajak-sajak Paman Atek bisa dengan mata telanjang, bisa juga dengan mata hati. Ada beberapa puisi yang ditulis lugas dengan bahasa sederhana, bahasa percakapan sehari-hari yang tidak perlu memaksa kita membuka-buka kamus dan mencari arti suatu kata. Namun, ada juga beberapa sajak yang memaksa saya mencari makna katanya dalam kamus karena saya tidak akrab dengan bahasa-bahasa kimia, fisika, dan matematika yang dipindahkan dengan cara ’indah’ dan ’luar biasa’ oleh Paman Atek ke dalam sajak-sajaknya.

Rabu, 18 April 2012

Pendidikan Karakter : Sebuah Perjalanan


"... mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ... ."

Begitulah tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai salah satu tujuan bangsa Indonesia seperti yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diwujudkan apabila seluruh rakyatnya, terlebih para aparat dan pejabatnya bukan cerdas secara intelektual saja, tapi juga cerdas dalam bersikap dan bertindak. Hal tersebut berkaitan dengan Hati dan emosi [karakter] serta Skills [keahlian di bidangnya]. Secara tersirat dalam pembukaan UUD 1945 terkandung amanah pendidikan karakter.

Pendidikan Sebenarnya

Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

ShareThis